-Pembahasan 3-
1.3. Mitos, Penalaran & Cara memperoleh Pengetahuan
A. Mitos
Menurut A. Comte, bahwa dalam sejarah perkembangan manusia itu ada tiga tahap, yaitu:
1. Tahap teologi atau tahap metafisika
2. Tahap filsafat
3. Tahap positif atau tahap ilmu
Dalam
tahap teologi atau tahap metafisika, manusia menyusun mitos atau
dongeng untuk mengenal realita atau kenyataan, yaitu pengetahuan yang
tidak obyektif, melainkan subyektif. Mitos ini diciptakan untuk
memuaskan rasa ingin tahu manusia. Dalam alam pikiran, mitos, rasio atau
penalaran belum terbentuk, yang bekerja hanya daya khayal, intuisi,
maupun imajinasi.
Menurut
C.A. van Peursen, mitos adalah suatu cerita yang memberikan pedoman
atau arah tertentu kepada sekelompok orang. Cerita itu dapat ditularkan,
dapat pula diungkapkan lewat tari-tarian atau pementasan wayang, dan
sebagainya. Inti cerita adalah lambang-lambang yang mencetuskan
pengalaman manusia beserta lambang kejahatan dan kebaikan, kehidupan dan
kematian, dosa dan penyucian, juga perkawinan dan kesuburan.
Pada
tahap teologi ini, manusia menemukan identitas dirinya. Manusia
sebagai subyek yang masih terbuka dikelilingi oleh obyek yaitu alam,
sehingga manusia mudah sekali dimasuki oleh daya dan kekuatan alam.
Lewat mitos inilah, manusia dapat turut serta mengambil bagian dalam
kejadian-kejadian alam sekitarnya, dan dapat menanggapi daya kekuatan
alam.
Berikut ini akan dijelaskan contoh-contoh mengenai mitos, yaitu:
1. Gunung api meletus hebat, menimbulkan gempa bumi, mengeluarkan lahar panas dan awan
panas, sehingga menimbulkan banyak korban manusia. Manusia pada tahap
teologi (menurut A. Comte) atau pada tahap mitos (C.A. van Peursen)
belum dapat melihat realita ini dengan inderanya.
2. Gempa
bumi diduga terjadi karena Atlas (raksasa yang memikul bumi pada
bahunya) memindahkan bumi dari bahu yang satu ke bahu yang lain.
3. Gerhana bulan disangka terjadi karena bulan dimakan raksasa.
4. Bunyi guntur dikira ditimbulkan oleh roda kereta yang dikendarai dewa melintasi langit.
Mencari
jawaban atas masalah seperti itu, dan menghubungkannya dengan
makhluk-makhluk gaib, disebut berpikir secara irasional. Demikianlah
manusia pada tahap mitos atau teologi menjawab keingintahuannya dengan
menciptakan dongeng-dongeng atau mitos, karena alam pikirannya masih
terbatas pada imajinasi atau intuisi.
B. Penalaran Deduktif (rasionalisme)
Dengan
bertambah majunya alam pikiran manusia dan makin berkembangnya
cara-cara penyelidikan, manusia dapat menjawab banyak pertanyaan tanpa
mengarang mitos.
Menurut
A. Comte, dalam perkembangan manusia sesudah tahap mitos, manusia
berkembang dalam tahap filsafat. Pada tahap filsafat, rasio sudah
terbentuk, tetapi belum ditemukan metode berpikir secara obyektif. Rasio
sudah mulai dioperasikan, tetapi kurang obyektif. Berbeda dengan pada
tahap teologi, pada tahap filsafat ini manusia mencoba mempergunakan
rasionya untuk memahami obyek secara dangkal, tetapi obyek belum
dimasuki secara metodologis yang definitif.
Perkembangan alam pikiran manusia merupakan suatu proses, maka
manusia tidak puas dengan pemikiran ini, sehingga berkembang ke dalam
tahap positif atau tahap ilmu. Dalam tahap positif atau tahap ilmu ini,
rasio sudah dioperasikan secara obyektif. Manusia menghadapi obyek
dengan rasio.
Dalam
menghadapi peristiwa-peristiwa alam, misalnya gunung api meletus yang
menimbulkan banyak korban dan kerusakan, manusia tidak lagi mengadakan
selamatan dengan tari-tarian dan nyanyian, tetapi akan mengamati
peristiwa itu, mempelajari mengapa gunung api itu dapat meletus,
kemudian berusaha mencari penyelesaian dengan tindakan-tindakan yang
sesuai dengan hasil pengamatannya. Misalnya, dengan mencegah terjadinya
letusan yang hebat. Untuk mengurangi banyaknya korban, penduduk di
sekeliling gunung api tersebut dipindahkan ke daerah lain. Inilah bukti
bahwa manusia lama-kelamaan tidak puas dengan mitos sebagai pemikiran
yang irasional, kemudian mencari jawaban yang rasional.
Pemecahan
secara rasional berarti mengandalkan rasio dalam usaha memperoleh
pengetahuan yang benar. Kaum rasionalis mengembangkan paham yang disebut
rasionalisme. Dalam menyusun pengetahuan, kaum rasionalis menggunakan
penalaran deduktif. Penalaran deduktif adalah cara berpikir yang
bertolak dari pernyataan yang bersifat umum untuk menarik kesimpulan
yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif ini
menggunakan pola berpikir yang disebut silogisme. Silogisme itu terdiri
atas dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Kedua pernyataan itu
disebut premis mayor dan premis minor. Kesimpulan atau konklusi diperoleh dengan penalaran deduktif dari kedua premis tersebut.
Dengan
demikian, jelas bahwa penalaran deduktif ini pertama-tama harus mulai
dengan pernyataan yang sudah pasti kebenarannya. Aksioma dasar ini yang
dipakai untuk membangun sistem pemikirannya, diturunkan atau berasal
dari idea yang menurut anggapannya jelas, tegas, dan pasti dalam pikiran
manusia. Dengan penalaran deduktif ini dapat diperoleh bermacam-macam
pengetahuan mengenai sesuatu obyek tertentu tanpa ada kesepakatan yang
dapat diterima oleh semua pihak. Di samping itu juga terdapat kesulitan
untuk menerapkan konsep rasional kepada kehidupan praktis.
C. Penalaran Induktif (empirisme)
Pengetahuan
yang diperoleh berdasarkan penalaran deduktif ternyata mempunyai
kelemahan, maka muncullah pandangan lain yang berdasarkan pengalaman
konkret. Mereka yang mengembangkan pengetahuan berdasarkan pengalaman
konkret disebut penganut empirisme. Paham empirisme menganggap bahwa
pengetahuan yang benar ialah pengetahuan yang diperoleh langsung dari pengalaman konkret.
Penganut
empirisme menyusun pengetahuan dengan menggunakan penalaran induktif.
Penalaran induktif adalah cara berpikir dengan menarik kesimpulan umum
dari pengamatan, atas gejala-gejala yang bersifat khusus. Misalnya,
pada pengamatan atas logam besi, tembaga, aluminium, dan sebagainya,
jika dipanasi ternyata menunjukkan bertambah panjang.
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan yang diperoleh
hanya dengan penalaran deduktif tidak dapat diandalkan karena bersifat
abstrak dan lepas dari pengalaman. Demikian pula dengan pengetahuan yang
diperoleh hanya dari penalaran induktif juga tidak dapat diandalkan
karena kelemahan pancaindera. Karena itu himpunan pengetahuan yang
diperoleh belum dapat disebut ilmu pengetahuan.
D. Pendekatan Ilmiah sebagai Kelahiran Ilmu Pengetahuan Alam
Metode
keilmuan atau pendekatan ilmiah adalah perpaduan antara rasionalisme
dan empirisme. Pengetahuan yang disusun dengan cara pendekatan ilmiah
atau menggunakan metode keilmuan, diperoleh melalui kegiatan penelitian
ilmiah. Penelitian ilmiah ini dilaksanakan secara sistematik dan
terkontrol berdasarkan atas data-data empiris. Kesimpulan dari
penelitian ini dapat menghasilkan suatu teori. Metode keilmuan itu
bersifat obyektif, bebas dari keyakinan, perasaan dan prasangka pribadi,
serta bersifat terbuka.
Jadi,
suatu himpunan pengetahuan dapat digolongkan sebagai ilmu pengetahuan
bilamana cara memperolehnya menggunakan metode keilmuan, yaitu gabungan
antara rasionalisme dan empirisme. Secara lengkap dapat dikatakan
bahwa suatu himpunan pengetahuan dapat disebut Ilmu Pengetahuan Alam
bilamana memenuhi persyaratan berikut, yaitu: obyeknya pengalaman
manusia yang berupa gejala-gejala alam, yang dikumpulkan melalui metode
keilmuan serta mempunyai manfaat untuk kesejahteraan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar