Rabu, 29 April 2015

LOGOTERAPI


Hasil gambar untuk tokoh LOGOTERAPI

       Teori dan terapi Viktor Frankl lahir dari pengalamannya selama menjadi tawanan di kamp konsentrasi Nazi. Di sana, ia menyaksikan banyak orang yang mampu bertahan hidup atau mati di tengah siksaan. Hingga akhirnya dia menganggap bahwa mereka yang tetap berharap bisa bersatu dengan orang-orang yang dicintai, punya urusan yang harus diselesaikan di masa depan, punya keyakinan kuat, memiliki kesempatan lebih banyak daripada yang kehilangan harapan.
Frankl menamakan terapinya dengan logoterapi, dari kata Yunani, “logos”, yang berarti pelajaran, kata, ruh, Tuhan atau makna. Frankl menekankan pada makna sebagai pegertian logos. Bila Freud dan Addler menekankan pada kehendak pada kesenangan sebagai sumber dorongan. Maka, Frankl menekankan kehendak untuk makna sebagai sumber utama motivasi.
Kata “logo” berasal dari bahasa Yunani “logos” yang berarti makna atau meaning dan juga “rohani”. Adapun kata “terapi” berasal dari bahasa Inggris therapy yang artinya penggunaan teknik-teknik menyembuhkan dan mengurangi suatu penyakit. Jadi, kata logoterapi artinya penggunaan teknik untuk menyembuhkan dan mengurangi atau meringankan suatu penyakit melalui penemuan makna hidup. Istilah tema utama logoterapi adalah karakteristik eksistensi manusia, dengan makna hidup sebagai inti teori
Selain itu, Frankl juga menggunakan “noösyang berarti jiwa/pikiran. Bila psikoanalisis terfokus pada psikodinamik, yakni manusia dianggap berusaha mengatasi dan mengurangi ketegangan psikologis. Namun, Frankl menyatakan seharusnya lebih mementingkan noödinamik, yaitu ketegangan menjadi unsur penting bagi keseimbangan dan kesehatan jiwa. Bagaimana pun, orang menginginkan adanya ketegangan ketika mereka berusaha mencapai tujuan.



Konsep terapi

        Pandangan Frankl tentang kesehatan psikologis menekankan pentingnya kemauan akan arti. Tentu saja ini merupakan kerangka, di dalamnya segala sesuatu yang lain diatur. Frankl berpendapat  manusia harus dapat menemukan makna hidupnya sendiri dan setelah menemukan lalu mencoba untuk memenuhinya. Bagi Frankl setiap kehidupan mempunyai makna, dan kehidupan itu adalah suatu tugas yang harus dijalani. Mencari makna dalam hidup inilah prinsip utama teori Frankl Logoterapi. Logoterapi memiliki tiga konsep dasar, yakni 

  • ·Kebebasan berkehendak (Freedom of Will) 
Dalam pandangan logoterapi, manusia adalah mahluk yang istimewa karena mempunyai kebebasan. Kebebasan yang dimaksud dalam freedom of will seperti:
-          Kebebasan yang bertanggungjawab.
-          Kebebasan untuk mengambil sikap (freedom to take a stand) atas kondisi-
        kondisi tersebut.
-          Kebebasan untuk menentukan sendiri apa yang dianggap penting dalam 
        hidupnya.

  • ·         Kehendak Hidup Bermakna (The Will to Meaning)
Konsep keinginan kepada makna (the will to meaning) inilah menjadi motivasi utama kepribadian manusia (Frankl, 1977). Dalam psikoanalisa memandang manusia adalah pencari kesenangan. Pandangan psikologi individual bahwa manusia adalah pencari kekuasaan. Menurut logoterapi bahwa kesenangan merupakan efek dari pemenuhan makna, sedangkan kekuasaan merupakan prasyarat bagi pemenuhan makna. Mengenal makna, menurut Frankl bersifat menarik dan menawari bukannya mendorong. Karena sifatnya menarik maka individu termotivasi untuk memenuhinya. Agar individu menjadi individu yang bermakna, maka melakukan berbagai kegiatan yang syarat dengan makna.

  • ·         Makna Hidup (The Meaning Of Life)
Makna yaitu suatu hal yang didapat dari pengalaman hidupnya baik dalam keadaan senang maupun dalam penderitaan. Makna hidup dianggap identik dengan tujuan hidup. Makna hidup bisa berbeda antara satu dengan yang lainya dan berbeda setiap hari, bahkan setiap jam. Karena itu, yang penting secara umum bukan makna hidup, melainkan makna khusus dari hidup pada suatu saat tertentu. Setiap individu memiliki pekerjaan dan misi untuk menyelesaikan tugas khusus. Dalam kaitan dengan tugas tersebut dia tidak bisa digantikan dan hidupnya tidak bisa diulang. Karena itu, manusia memiliki tugas yang unik dan kesempatan unik untuk menyelesaikan tugasnya (Frankl, 2004).

Unsur-unsur terapi

         Saat individu tidak memiliki keinginan terhadap sesuatu (apapun), karena keinginan akan mendorong setiap manusia untuk melakukan berbagai kegiatan agar hidupnya di rasakan berarti dan berharga. Menurut Frankl (2004) terdapat dua tahapan pada sindroma ketidakbermaknaan, yaitu:
-        Frustasi eksistensial (exsistential frustration) atau disebut juga kehampaan 
      eksistensial (exsistetial vacuum)
Menurut Koesworo,1992, exsistential frustration adalah fenomena umum yang berkaitan dengan keterhambatan atau kegagalan individu dalam memenuhi keinginan akan makna. 
-        Neurosis noogenik (noogenic neuroses)
Yaitu suatu manifestasi khusus dari frustasi eksistensial yang ditandai dengan simptomatologi neurotik klinis tertentu yang tampak (Koesworo,1992). Frankl menggunakan istilah ini untuk membedakan dengan keadaan neurosis somatogenik, yaitu neurosis yang berakar pada kondisi fisiologis tertentu dan neurosis psikogenik yaitu neurosis yang bersumber pada konflik-konflik psikologis.

Teknik-teknik Terapi

Dalam logoterapi, klien diajarkan bahwa setiap kehidupan dirinya mempunyai maksud, tujuan, dan makna yang harus diupayakan untuk ditemukan dan dipenuhi. Hidup tidak lagi kosong jika sudah menemukan sebab dan sesuatu yang dapat mendedikasikan eksistensi kita. Victor Frankl dikenal sebagai terapis yang memiliki pendekatan klinis yang detail. Teknik-teknik yang digunakan antara lain:
  • Intensi paradoksal
Mampu menyelesaikan lingkaran neurotis yang disebabkan kecemasan anti sipatori dan hiper-intensi. Intensi paradoksal adalah keinginan terhadap sesuatu yang ditakuti.
Contohnya: 
A.  Seorang pemuda yang selalu gugup ketika bergaul.
                  B.  Masalah tidur. 
                        Menurut Frankl, kalau menderita insomnia, seharusnya tidak mencoba 
                  berbaring ditempat tidur, memejamkan mata, mengosongkan pikiran dan 
                  sebagainya. Seharusnya berusaha menjaganya selama mungkin. Setelah 
                  itu baru merasakan adanya kekuatan yang mendorong untuk melangkah ke
                  kasur.
   
REFERENSI 
  •  Frankl. Emil. 2004. On the theory and therapy of mental disorders: an introduction to logotherapy and existential analysis. Brunner-Routledge 270 Madison Avenue. New York.
  • Bastaman, H.D. (2007). Logoterapi “Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
  •  Corey, G. (2009). Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung: PT. Refika Aditama.
  • Corey, G. (1995). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Semarang : PT IKIP Semarang Press 
  •  Semiun, Yustinus. (2006). Kesehatan mental 3. Yogyakarta : Kanisius


TERAPI HUMANISTIK

 
                                                
          
         Istilah Psikologi Humanistik diperkenalkan oleh sekelompok ahli psikologi yang pada awal tahun 1960-an bekerja sama di bawah kepemimpinan Abraham Maslow dalam mencari alternatif dari dua teori yang sangat berpengaruh atas pemikiran intelektual dalam psikologi. Kedua teori yang dimaksud adalah psikoanalisis dan behaviorisme. Maslow menyebut psikologi humanistik sebagai “kekuatan ketiga” .
        Meskipun tokoh-tokoh  psikologi humanistik memiliki pandangan yang berbeda-beda, tetapi mereka berpijak pada konsepsi fundamental yang sama mengenai manusia, yang berakar pada salah satu aliran filsafat modern, yaitu eksistensialisme. Eksistensialisme adalah hal yang mengada-dalam dunia (being-in-the-world) dan menyadari penuh akan keberadaannya (Koeswara, 1986 : 113).    
       Eksistensialisme menolak paham yang menempatkan manusia semata-mata sebagai hasil bawaan ataupun lingkungan. Sebaliknya, para filsuf eksistensialis percaya bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih tindakan, menentukan sendiri nasib atau wujud dari keberadaannya, serta bertanggung jawab atas pilihan dan keberadaannya, dalam hal ini “pilihan” menjadi evaluasi tertinggi dari tindakan yang akan diambil oleh seseorang.
   

 Konsep Terapi  

        Konsep utama psikologi eksistensial humanistik mengenai pandangan tentang mausia adalah psikologi eksistensial humanistik berfokus pada kondisi manusia. Pendekatan ini terutama adalah suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia alih-alih suatu sistem teknik-teknik yang digunakan untuk mempengaruhi klien.  Konsep-konsep utama dari pendekatan eksisitensial yang membentuk landasan bagi praktek terapeutik yaitu:
1.  Kesadaran Diri
     Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri,   suatu kesanggupan yang uni dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memututuskan. Semakinkuat kesadaran diri itu pada seseorang maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang itu.
2.  Kebebasan, Tanggung Jawab, Kecemasan
  kecemasan eksistensial diakibatkan oleh kesadaran atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati. Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi kehidupan individu sekarang, sebab kesadaran tersebut menghadapkan individu pada kenyataan bahwa dia memiliki waktu yang terbatas untuk mengaktualkan potensi-potensinya.
3. Penciptaan makna
Manusia itu unik, dalam arti bahwa dia berusaha untuk menemukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna  bagi kehidupan. Pada hakikatnya ‘kes’. Menjadi manusia juga berarti menghadapi kesendirian. Manusia lahir ke dunia sendiri dan mati sendiri pulaendirian” manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah makhluk rasional.

Unsur - unsur terapi

         Terapis dalam terapi humanistik eksistensial mempunyai tugas utama, yaitu berusaha untuk memahami klien sebagai sesuatu yang ada di dalam dunia ini. Dimana tekhnik yang digunakannya itu selalui mendahului suatu pemahaman yang mendalam terhadap kliennya. Prosedur yang digunakan bisa bervariasi, tidak hanya dari klien yang satu ke klien yang lainnya, tetapi juga dari satu ke lain fase terapi yang dijalani oleh klien yang sama.
Proses klien mencapai kesembuhan dalam terapi humanistik-eksistensial
Dalam terapi eksistensial, klien mampu mengalami secara subjektif persepsi-persepsi tentang dunianya. Dia harus aktif dalam proses terapeutik, karena dia harus memutuskan ketakutan-ketakutannya, perasaan-perasaan berdosa, dan kecemasan-kecemasannya. Dalam terapi ini klien terlibat dalam pembukaan pintu menuju diri sendiri, dengan membuka pintu yang tertutup, klien mulai melonggarkan belenggu deterministik yang telah menyebabkan dia terpenjara secara psikologis. Lambat laun klien menjadi sadar, apa dia tadinya dan siapa dia sekarang, serta klien lebih mampu menetapkan masa depan macam apa yang diinginkannya. Melalui proses terapi ini klien bisa mengeksplorasi alternatif-alternatif guna membuat pandangan-pandangannya menjadi real.

Teknik terapi

         
           Yaitu teknik dengan pendekatan fenomenologi kepribadian yang membantu individu menyadari diri sesungguhnya dan memecahkan masalah mereka dengan intervensi ahli terapi yang minimal. Gangguan psikologis yang diduga timbul jika proses pertumbuhan potensi dan aktualisasi diri terhalang oleh situasi atau oleh orang lain. Carl Rogers, yang mengembangkan psikoterapi yang berpusat pada klien(client-centered-therapy), percaya bahwa karakteristik ahli terapi yang penting untuk kemajuan dan eksplorasi-diri klien adalah empati, kehangatan, dan ketulusan.
            Teori-teori humanistik dikembangkan lebih berdasarkan pada metode penelitian kualitatif yang menitik-beratkan pada pengalaman hidup manusia secara nyata (Aanstoos, Serlin & Greening, 2000). Kalangan humanistik beranggapan bahwa usaha mengkaji tentang mental dan perilaku manusia secara ilmiah melalui metode kuantitatif sebagai sesuatu yang salah kaprah. Tentunya hal ini merupakan kritikan terhadap kalangan kognitivisme yang mengaplikasikan metode ilmiah pendekatan kuantitatif dalam usaha mempelajari tentang psikologi. Sebaliknya, psikologi humanistik pun mendapat kritikan bahwa teori-teorinya tidak mungkin dapat memfalsifikasi dan kurang memiliki kekuatan prediktif sehingga dianggap bukan sebagai suatu ilmu (Popper, 1969, Chalmers, 1999).
Hasil pemikiran dari psikologi humanistik banyak dimanfaatkan untuk kepentingan konseling dan terapi, salah satunya yang sangat populer adalah dari Carl Rogers dengan client-centered therapy, yang memfokuskan pada kapasitas klien untuk dapat mengarahkan diri dan memahami perkembangan dirinya, serta menekankan pentingnya sikap tulus, saling menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas konselor hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar.
Menurut Rogers, teknik-teknik asesmen dan pendapat para konselor bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment atau pemberian bantuan kepada klien. Selain memberikan sumbangannya terhadap konseling dan terapi, psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education). Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik. 

REFERENSI

  • Corey, G. (2009). Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung: PT. Refika Aditama. 
  • Corey, G. (1995). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Semarang : PT IKIP Semarang Press 
  • Semiun,Yustinus. (2006). Kesehatan mental 3. Yogyakarta : Kanisius


 

TERAPI PSIKOANALISA


Hasil gambar untuk SIGMUND FREUD


Dunia terapi memiliki berbagai macam pendekatan yang dapat dijadikan acuan dasar pada semua praktik terapi. Teori mengenai psikoterapi merupakan landasan dasar terbentuknya terapi yang efektif. Masing-masing teori tentu saja dikemukakan oleh ahli yang berbeda sehingga penerapan dari pendekatan yang digunakan juga akan terlihat berbeda. Terapi dengan pendekatan psikoanalisa dirintis oleh tokoh yang bernama Sigmund Freud. Freud lahir di Wina pada tahun 1856. Beliau hidup dalam lingkungan keluarga yang bisa dikatakan cukup keras dan sangat disiplin. Ayahnya sangat otoriter. Keuangan keluarga Freud juga sangat terbatas, dapat dikatakan pas-pas an. Orang tuanya membuat segala upaya untuk dapat mengembangkan intelektual anak-anaknya. Jadi walaupun hidup mereka pas-pas an, orang tuanya berusaha sekeras mungkin agar anaknya dapat sekolah. Latar belakang keluarga Freud yang seperti itulah yang menjadi salah satu faktor dasar perkembangan teorinya. Untuk dapat lebih memahami mengenai terapi dengan pendekatan psikoanalisa ini, maka baiknya saya akan ulas terlebih dahulu secara singkat mengenai dasar-dasar teori psikoanalisa dari Freud.
 Freud memandang manusia secara pesimis. Beliau memandang bahwa manusia itu dikendalikan oleh insting-insting dan setiap perilaku manusia dipengaruhi oleh alam bawah sadarnya (unconscious). Alam bawah sadar itu sangat luas, sedangkan alam sadar kita itu hanya sedikit. Peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan yang masuk pada alam bawah sadar kita tanpa kita sadari akan mempengaruhi perilaku dan pribadi kita. Penekanan teori psikonalisa terhadap terapinya adalah pada alam bawah sadar manusia (unconscious) dan masa lalu, terutama masa lima tahun pertama kehidupan yang merupakan sumber-sumber patologis. Freud membagi struktur kepribadian menjadi 3, yaitu id (prinsip kenikmatan dan kebutuhan dasar, seperti makan, minum, seks), ego (prinsip kenyataan, yang memutuskan untuk bertindak sesuai dengan realitas) dan superego (nilai-nilai dan norma, yang ditanamkan oleh orang tua kita. Pengontrol perilaku agar sesuai dengan norma masyarakat). Ketika id menginginkan sesuatu yang harus dipenuhi sekarang juga, dan hal itu bertentangan dengan superego (nilai dan norma) dimana dorongan id lebih kuat, maka ego akan melakukan defense (pertahanan) yang disebut sebagai ego defense mechanism. Mekanisme pertahanan ego terdiri dari proyeksi, reaksi formasi, represi, regresi, fiksasi, displacement, dan sublimasi. Misalnya salah satu contoh dari displacement, Lula dimarahi oleh ayahnya karena terus menerus bermain dan tidak belajar. Ia merasa kesal sekali dengan ayahnya karena dimarahi. Ia merasa terancam dan takut jika meluapkan perasaan kesal tersebut pada ayahnya, maka akhirnya ia meluapkan perasaan kesal dan benci tersebut kepada adiknya, padahgal adiknya tidak salah.
Itulah sekilas mengenai teori psikoanalisa, sekarang fokus kembali pada bagaimanakah terapi dengan pendekatan psikoanalisa tersebut. Pada pendekatan Psikoanalisa, terapis membuat klien mengembangkan proyeksi terhadap terapis. Selanjutnya terapis berfokus pada resistensi yang berkembang dengan menangani transferensi dan pada pengembangan kendali yang lebih rasional. Klien akan mengalami analisis jangka panjang yang intensif dan terlibat dalam asosiasi bebas untuk menyingkap konflik. Terapis lalu membuat penafsiran untuk mengajarkan klien tentang makna tingkah lakunya sekarang sambil menghubungkannya dengan masa lalu klien. Tujuan terapi berdasarkan pendekatan Psikoanalisa menurut Corey dalam Lubis (2011), yaitu:
1.    Membuat hal-hal yang tidak disadari menjadi disadari.
2.    Merekonstruksi kepribadian dasar.
3. Membantu klien menghidupkan kembali pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak dengan menembus konflik-konflik yang di represi.
4.    Memunculkan kesadaran intelektual.
 
      Menurut Lubis (2011) tujuan khusus psikoanalisa adalah membentuk kembali struktur kepribadian individu melalui pengungkapan hal-hal yang tidak disadari. Untuk itu, klien akan dibawa mundur kepada pengalaman masa kanak-kanaknya yang kemudian pengalaman tersebut akan dianalisis dan ditafsirkan sehingga terjadi rekonstruksi kepribadian pada diri klien. Cottone dalam Lubis (2011) menambahkan tujuan psikoanalisis adalah untuk memperkuat ego (ego strength) klien dan menempatkannya dalam posisi yang benar sehingga mampu memilih secara rasional. Ego strength bermakna sebagai kemampuan klien mengintegrasikan id dan superego tanpa ada konflik dan usaha represi. Selanjutnya tujuan psikoanalisa secara perinci juga dikemukakan oleh Nelson Jones dalam Lubis (2011), antara lain:
1.    Bebas dari impuls
2.    Memperkuat realitas atas dasar fungsi ego.
3.    Mengganti superego sebagai realitas kemanusiaan, bukan sebagai hukuman standar moral.  
Jadi, hal yang paling ditekankan dalam psikoanalisa adalah membuat konflik-konflik yang ada pada alam bawah sadar (unconscious) klien menjadi ke alam sadar (conscious), sehingga klien bisa mendapatkan insight dan pemahaman diri yang terkait dengan masa sekarang dan selanjutnya terjadi perubahan pada struktur kepribadiannya.

Unsur-unsur terapi

       Analis klasik seringnya memiliki sikap tanpa nama yang disebut juga anonim (terapis/analis berusaha tidak dikenal klien). Hal ini disebut juga sebagai pendekatan “blank screen”. Mereka dalam menganalisis hanya berbagi sedikit pengalaman dan perasaan (memiliki keterbukaan diri yang sedikit) dan memelihara perasaan netral untuk menjaga hubungan transferensi (pemindahan), sehingga klien dapat memproyeksikan dirinya kepada terapis. Terapis meyakini bahwa apabila ia berkata sedikit saja tentang dirinya dan jarang memperlihatkan reaksi mereka, peraaan klien terhadap terapis sebagian besar adalah hasl dari perasaan yang dikaitkan dengan figur signifikan di masa lalu. Proyeksi tersebut adalah hasil dari situasi yang tidak terselesaikan (unfinished business) dan direpresikan.
Menurut Corey (1996) fungsi utama dari terapis adalah untuk membantu klien memperoleh kebebasan akan cinta, pekerjaan dan bermain. Fungsi lainnya adalah membantu klien untuk mendapatkan kesadaran diri, jujur, mampu melakukan hubungan personal yang efektif, mampu menangani kecemasan secara realistis dan mampu mengendalikan tingkah laku yang impulsif dan rasional. Dalam melakukan proses terapi, terapis lebih banyak mendengarkan dan berusaha mengetahui kapan ia harus membuat penafsiran yang layak untuk mempercepat proses penyingkapan hal-hal yang tidak disadari. Fungsi utama dari interpretasi adalah mempercepat membongkar material-material yang tidak disadari. Terapis mendengarkan celah dan ketidakonsistenan dari cerita klien, menduga arti dari mimpi dan asosiasi bebas yang dilaporkan. Selain itu terapis harus hati-hati dalam mengobservasi selama sesi terapi dan sensitif terhadap petunjuk (clue) yang dirasakan oleh klien.
Willis dalam Lubis (2011) mengatakan bahwa seorang terapis harus peka terhadap bentuk resistensi klien, yaitu suatu keadaan di mana klien melindungi dirirnya agar perasaan, trauma dan kegagalannya tidak diketahui oleh terapis. Biasanya klien akan memunculkan bentuk-bentuk mekanisme pertahanan ego terhadap interpretasi yang tidak menyenangkan dari terapis. Hal yang unik dalam psikoanalisis menurut Lubis (2011) adalah ketika klien diminta berbaring pada suatu sofa yang nyaman, kemudian klien diminta menceritakan apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Kesempatan inilah yang digunakan oleh terapis untuk mendengarkan kesenjangan dan pertentangan pada cerita klien, dan peka terhadap isyarat perasaan klien. Hal ini akan membantu untuk merumuskan permasalahan utama klien yang sebenarnya. Terapis mampu merumuskan masalah apabila dapat memahami struktur kepribadian dan psikodinamik klien.
Salah satu fungsi utama dari terapis adalah mengajari klien akan makna dari proses terapi sehingga mereka mampu mendapatkan insight dari masalah yang mereka alami. Selain itu juga untuk meningkatkan kesadaran mereka untuk berubah dan mampu mengendalikan kehidupan mereka secara rasional (Corey, 1996). Saretsky dalam Corey (1996) mengatakan bahwa proses terapi psikoanalitik bukanlah sebagai obat. Klien memutuskan untuk berubah tergantung pada seberapa siap mereka untuk berubah daripada seberapa tepat dan akuratnya interpretasi terapis. Jika terapis mendorong klien terlalu cepat, terapi menjadi tidak produktif.

Konsep Terapi

Corey (1996) menyatakan bahwa klien yang tertarik untuk menjalani terapi psikoanalisa harus bersedia untuk komit terhadap dirinya untuk menjalani proses terapi yang intensif dan panjang. Biasanya mereka datang beberapa minggu sekali untuk 3-5 tahun. Setelah sesi tatap muka dengan terapis, klien diminta berbaring di sebuah sofa yang nyaman dan diminta menyatakan apa saja yang ada di pikirannya saat itu (disebut juga sebagai asosiasi bebas). Asosiasi bebas adalah fundamental rule (aturan dasar dari teknik psikoanalisa). Klien diminta melaporkan perasaanya, pengalamannya, asosiasinya, ingatan dan imajinasi/fantasinya kepada terapis. Berbaring pada sofa yang nyaman serta dengan kondisi tidak terganggu oleh stimulus-stimulus akan mengurangi kemungkinan mereka untuk melihat dan membaca reaksi wajah terapis dan meningkatkan karakteristik proyeksi dari pemindahan yang regresif (transference regressive). Pada waktu yang sama, terapis dapat dengan bebas memonitor dengan hati-hati petunjuk (clue) yang terlihat di wajah klien.
Klien dalam terapi psikoanalitik membuat komitmen atau kesepakatan bahwa mereka setuju untuk membicarakan segala hal, karena hasil verbal adalah jantung dari terapi psikoanalisa. Mereka diminta untuk tidak membuat perubahan-perubahan yang radikal dalam gaya hidup mereka selama proses analisis, seperti bercerai atau berhenti dari pekerjaan. Klien psikoanalisa siap memasuki tahap akhir (termination) ketika mereka dan terapis mereka setuju bahwa masalah emosional mereka telah di klarifikasi dan diterima, ketika mereka telah memahami akar sejarah dari masalah/kesulitan mereka dan dapat mengintegrasikan kesadaran mereka dari masalah pada masa lalu dengan hubungan mereka di masa sekarang. Analisis yang berhasil adalah yang dapat menjawab pertanyaan “mengapa” terkait dengan masalah kehidupan klien. Klien yang telah sukses dengan terapi analisis melaporkan bahwa mereka mendapatkan pemahaman tentang simtom-simtom yang terjadi pada diri mereka. Selain itu mereka juga mendapatkan insight mengenai bagaimana lingkungan mempengaruhi mereka dan bagaimana mereka mempengaruhi lingkungan dan defensif (pertahanan) mereka menjadi berkurang.
         Corey (1996) mengatakan bahwa hubungan klien dengan terapis di konseptualisasikan dalam proses transferensi (pemindahan). Hal tersebut adalah inti dari pendekatan psikoanalisa. Transferensi adalah alam bawah sadar klien yang berpindah pada terapis seperti perasaan-perasaan/fantasi-fantasi sebagai reaksi terhadap signficant other pada masa lalu klien. Jadi perasaan-perasaan/fantasi-fantasi terhadap orang lain di masa lalu klien berpindah pada terapis atau di proyeksikan kepada terapis, sehingga klien mengalami kembali hal tersebut dan terapis mencoba membantu klien untuk mendapatkan insight atau pikiran rasional mengenai hal tersebut. Transferensi membuat klien memahami dan menyelesaikan “unfinished bussiness” dari hubungan masa lalu. Proses treatmennya berupa rekonstruksi dan mengenang kemabali peristiwa di masa lampau.
Kemajuan terapi terlihat dari perasaan dan konflik ketika anak-anak mulai muncul dari dalam alam bawah sadar. Klien merasakan kembali konflik-konflik seperti trust vs mistrus, cinta vs benci, ketergantungan vs ketidaktergantungan, autonomy vs shame and guilt. Transferensi membuat klien mengalami kembali atau merasakan kembali konflik-konflik yang terjadi pada lima tahun pertama kehidupannya, kemudian membawa kembali pada masa sekarang dan meletakkannya pada terapis. Singkatnya, terapis adalah sebagai pengganti dari significant other pada masa lalu klien. Perasaan benci adalah hasil dari transferensi negatif (negative transference) sedangkan perasaan cinta terhadap terapis, berharap untuk di adopsi olehnya, dan lain-lain adalah hasil dari transferensi positif (positive transference). Namun dikatakan lebih lanjut oleh Corey (1996), suatu kesalahan jika setiap respon positif (seperti, menyukai terapisnya) dilabelkan sebagai positive transference, seharusnya tidak di labelkan seperti itu. Hal ini akan diulas lebih lanjut pada pembahasan berikutnya.
Apabila terapis ingin menghasilkan perubahan, hubungan transferensi harus bekerja dari awal sampai akhir (working through). Proses working through berisikan eksplorasi dari material-material alam bawah sadar dengan defensif, kebanyakan hal tersebut terbentuk pada masa anak-anak awal. Working through diperoleh melalui mengulang kembali interpretasi dan mengeksplor daya tahan atau perlawanan klien. Klien memiliki banyak kesempatan untuk melihat berbagai macam inti dari konflik mereka dan inti dari defense (pertahanan) mereka yang termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut diasumsikan agar klien secara psikologis menjadi tidak ketergantungan. Mereka tidak hanya menjadi sadar terhadap material-material yang tidak disadari, tetapi juga dapat mencapai beberapa tingkat kebebasan dari perilaku yang di motivasi oleh dorongan-dorongan lahir, seperti kebutuhan akan cinta yang penuh dan penerimaan dari figur orang tua mereka. Hubungan transferensi membutuhkan waktu yang lama untuk dibangun dengan intens dan perlu tambahan waktu untuk memahami dan menyelesaikan masalah klien. Jadi, working through meminta waktu yang sangat panjang dalam proses total terapi.
Hal yang harus ditekankan pada terapi psikoanalitik menurut Corey (1996) adalah bahwa semua jejak dari kebutuhan-kebutuhan dan trauma masa kecil tidak akan pernah terhapus seluruhnya. Jadi, konflik-konflik kita ketika masih kanak-kanak tidak dapat sepenuhnya diselesaikan walaupun banyak aspek dari transferensi seperti working through, dan lain-lain. Kita memproyeksikan sesuatu kepada orang lain dengan permintaan yang tidak realistis dari yang kita harapkan untuk dipenuhi oleh orang tersebut. Hal itu membuat kita mengalami transferensi dengan orang-orang dan masa lalu kita selalu menjadi bagian yang vital bagi orang-orang yang ada saat ini.
Countertransference adalah reaksi dari klien kepada terapis yang mengganggu objektivitas mereka. Sebagai contoh, klien menjadi sangat tergantung kepada terapis, klien menyukai dan jatuh cinta kepada terapis. Corey (1996) mengatakan bahwa terapis diharapkan mampu mengembangkan beberapa tingkat objektivitas dan tidak bereaksi secara irasional dan subjektif dalam menghadapi kemarahan, cinta, kritik dan perasaan-perasaan intens lainnya dari klien mereka. Jika klien-klien mereka ada yang jatuh cinta, maka harus dialihkan kepada terapis atau psikolog lainnya. Corey (1996) melanjutkan bahwa kesalahan besar mengasumsikan bahwa semua perasaan klien kepada terapis adalah manifestasi dari transferensi. Banyak reaksi tersebut adalah realitas (kenyataan). Maka dari itu, setiap respon positif dari klien seperti menyukai terapisnya seharusnya tidak di labelkan sebagai “positive transference”. Selain itu, kemarahan klien terhadap terapis mungkin juga merupakan fungsi dari perilaku terapis. Kesalahan besar jika melabelkan semua reaksi negatif dari klien sebagai tanda dari “negative transference.” Jadi, tidak tepat jika berpendapat bahwa semua perasaan positif dan negatif dari klien kepada terapis adalah transferensi yang tidak berhasil (countertransference).
Countertransference adalah fenomena yang terjadi ketika terdapat afek yang tidak tepat. Ketika terapis merespon dengan irasional atau ketika mereka kehilangan objektivitas dalam hubungan karena konflik-konflik mereka sendiri, terutama ketika ada hubungan dengan klien, seperti ayah, ibu atau orang yang mereka cintai. Searles dalam Corey (1996) menyatakan bahwa countertransference dapat menghasilkan sesuatu yang positif. Reaksi countertransference dapat memberikan makna yang penting untuk memahami dunia klien. Terapis yang mencatat bahwa suasana countertransference itu mengganggu, sebaliknya mereka mungkin mempelajari sesuatu tentang pola permintaan (demands) klien. Countertransference dapat dilihat sebagai sesuatu yang secara potensial berguna, jika dieksplor dalam analisis.
Hubungan terapis dengan klien meminta tingkat penyesuaian emosional yang besar. Dipandang sebagai cara yang positif, countertransference menjadi kunci potensial untuk membantu klien. Jadi sangatlah jelas bahwa hubungan terapis dengan klien adalah hal yang vital dan penting dalam terapi psikoanalisa. Hasil dari hubungan tersebut adalah klien mendapatkan insight dari material yang represikan, yang merupakan dasar dari proses pertumbuhan analisis. Klien menjadi mampu memahami asosiasi atau hubungan antara pengalaman masa lalu mereka dengan perilaku dan struktur karakter mereka saat ini. Pendekatan psikoanalisa berasumsi bahwa tanpa dinamika tersebut self understanding (pemahaman diri) tidak akan bisa menjadi substansi yang dapat merubah kepribadian atau resolusi dari konlik-konflik saat ini (Corey, 1996).
Teknik Terapi
Corey dalam Lubis (2011) mengatakan bahwa teknik terapi psikoanalisa adalah untuk meningkatkan kesadaran, memperoleh insight, dan memahami arti dari simtom-simtom yang dirasakan oleh klien. Proses terapi selesai ketika tujuan-tujuannya telah tercapai yaitu memperoleh pemahaman intelektual dan emosional dimana hal tersebut diharapkan dapat mengubah kepribadian. 5 teknik dasar dari terapi psikoanalitik terdiri dari:
 
1.    Asosiasi Bebas
   Asosiasi bebas adalah teknik yang memberi kebebasan pada klien untuk mengatakan apa saja perasaan, pemikiran, dan renungan yang ada dalam pikirannya tanpa ada yang disembunyikan. Melalui teknik ini, klien diharapkan mampu melepaskan emosi yang berkaitan dengan pengalaman traumatik di masa lau yang terpendam (katarsis). Katarsis inilah yang mendorong klien memperoleh pemahaman dan evaluasi diri yang lebih objektif. Tugas terapis disini adalah memahami hal-hal yang di represi dan hanyut ke alam bawah sadar. Selanjutnya terapis akan menafsirkan hal tersebut dan menyampaikannya pada klien. Setelah itu, membimbing ke arah pemahaman dinamika kepribadian yang tidak disadari oleh klien.
2.    Analisis Mimpi
     Freud menilai mimpi sebagai jalan istimewa menuju ketidaksadaran karena melalui mimpi, hasrat, kebutuhan dan ketakutan yang di pendam akan mudah diungkapkan. Pada saat klien tidur, pertahanan egonya akan melemah sehingga perasaan yang ditekan akan muncul ke alam sadar. Analisis mimpi memungkinkan terapis untuk mengetahui masalah-masalah yang tidak terselesaikan oleh klien. Pada dasarnya mimpi memiliki 2 taraf isi, yaitu isi laten dan isi manifes. Isi laten terdiri dari motif yang disamarkan, tersembunyi dan bersifat simbolik karena terlalu menyakitkan dan mengancam seperti dorongan seksual dan agresif. Sementara itu, isi manifes terdiri dari bentuk mimpi yang tampil dalam impian klien. Tugas terapis disini adalah menyingkap makna yang disamarkan dengan mempelajari simbol-simbol dari isi manifes mimpi, sehingga dapat diketahui isi laten klien.     
 
3.    Analisis Resistensi
Resistensi dipandang oleh Freud sebagai pertahanan klien terhadap kecemasan yang akan meningkat jika klien menjadi sadar atas dorongan dan perasaan yang direpresinya. Hal ini akan menghambat terapis dan klien memperoleh pemahaman dinamika ketidaksadaran klien. Jika terjadi resistensi, terapis harus membangkitkan perhatian klien dan menafsirkan resistensi yang paling terlihat untuk mengurangi kemungkinan klien menolak penafsiran. Resistensi dapat menghambat kemampuan klien untuk mengalami kehidupan yang lebih memuaskan sehingga sebisa mungkin terapis harus dapat memberi pemahaman pada klien agar membuka tabir resistensinya.
  
4.    Analisis Transferensi
Transferensi merupakan reaksi klien yang melihat terapis sebagai orang yang paling dekat dan penting dalam hidupnya di masa lalu. Sebagian besar terapis akan mengembangkan neurosis transferensi yang dialami klien di lima tahun pertama kehidupannya. Untuk itu terapis harus melakukannya secara netral, objektif, anonim dan pasif. Teknik ini akan mendorong klien menghidupkan kemabali masa lalunya sehingga memberi pemahaman pada klien mengenai pengaruh masa lalunya terhadap kehidupannya saat ini. Melalui transferensi, klien juga mampu menyadari konflik masa lalu yang masih dipertahankannya sampai sekarang. 
5.    Interpretasi (Penafsiran)
Interpretasi merupakan prosedur dasar yang mencakup analisis terhadap asosiasi bebas, analisis mimpi, analisis resistensi, dan analisis transferensi. Terapis akan menyampaikan sekaligus memberi pemahaman pada klien mengenai makna dari tingkah laku klien yang dimanifestasikan melalui keempat teknik psikoanalisis tersebut. Tujuan dari penafsiran ini adalah agar mendororng ego klien untuk megasimilasi hal-hal baru dan mempercepat proses penyingkapan hal-hal yang tidak disadari. Penafsiran harus disampaikan pada saat yang tepat agar dapat diterima klien sebagai bagian dari dirinya. Apabila disampaikan terlalu cepat, kemungkinan klien akan melakukan penolakan, tetapi apabila penafsiran jarang dilakukan, kemungkinan klien akan sulit memperoleh insight atas masalahnya.
                        
Terapi dengan pendekatan psikoanalisa ini tidak terlalu tepat jika digunakan pada orang-orang yang ingin berfungsi sepenuhnya atau ingin mencapai aktualisasi diri, artinya tidak terlalu tepat bagi orang-orang sudah dalam keadaan baik, yang berkeinginan untuk menjadi lebih baik lagi. Orang-orang yang ingin beraktualisasi diri akan lebih baik apabila menjalani konseling dengan pendekatan humanistik dan eksistensial. Untuk terapi dengan pendekatan Psikoanalisa akan lebih tepat untuk klien-klien yang memiliki masalah berat sampai ringan, mulai dari masalah-masalah abnormal sampai pada masalah ringan, seperti putus cinta, trauma, dan lain-lain. 
Sekian ulasan mengenai terapi pada pendekatan psikoanalisa ini, semoga dapat bermanfaat bagi para pembacanya yang ingin mengetahui mengenai terapi tersebut. Terima kasih. 
DAFTAR PUSTAKA

  • Corey, Gerald. (1996). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. USA: Brooks Cole
  • Lubis, Lumongga Namora. (2011). Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan  Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group